Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 2)
Sikap kedua: Bertakwa dan bertawakal hanya kepada Allah
Sikap kedua pada saat kita sedang menghadapi kesulitan hidup adalah bertakwa kepada Allah Ta’ala. Bisa jadi pada saat kita dalam kondisi lapang, kita banyak bermaksiat kepada Allah Ta’ala, dan juga banyak meninggalkan kewajiban kita kepada Allah. Sehingga pada saat kita ditimpa suatu musibah yang berat, maka hal itu adalah momentum untuk memperbaiki diri kita untuk lebih dekat kepada Allah Ta’ala. Kita tinggalkan maksiat yang selama ini kita lakukan. Kita pun memperbanyak amal ketaatan kepada Allah. Kita perbanyak salat, baik salat wajib maupun sunah, kita perbanyak salat malam, sedekah, memperbanyak puasa, membaca Al-Quran, dan amal-amal ketaatan yang lainnya. Inilah inti ketakwaan.
Jangan sebaliknya, di saat sedang ditimpa kesulitan, justru kita semakin tenggelam dalam maksiat, dan semakin malas melakukan amal ketaatan. Maka salahkan diri kita sendiri ketika pertolongan dan jalan keluar dari Allah itu tidak kunjung datang.
Allah Ta’ala berjanji bahwa siapa saja yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan tunjukkan jalan keluar untuknya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Itu adalah janji dari Allah Ta’ala. Dan kalau kita perhatikan dan renungkan, dua janji tersebut terletak dalam surah Ath-Thalaq, surat yang berbicara tentang perceraian antara suami dan istri. Dan kita mengetahui bahwa perceraian adalah perkara yang berat, terlebih lagi jika pasangan tersebut telah memiliki anak. Allah Ta’ala pun ingatkan bahwa ketika sedang menghadapi perceraian, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tunaikan hak-hak pasangan, dan jangan zalim. Bisa jadi setelah bercerai, masalah justru semakin ruwet, ada dendam yang tidak berkesudahan, anak-anak terlantar dan terganggu psikologisnya, atau berlanjut ke ranah pidana, dan lain-lain. Maka bisa jadi hal itu terjadi karena kita tidak bertakwa ketika sedang dalam proses perceraian.
Ketika kita sedang dalam musibah dan kesulitan, lalu tidak tampak adanya pertolongan, maka kita pun hendaknya mengintrospeksi diri kita sendiri. Apakah kita sudah memperbaiki diri kita dengan bertakwa kepada Allah? Di sana ada lebih banyak orang yang mengalami musibah dan masalah yang lebih rumit dari kita, namun Allah berikan solusi dan jalan keluar. Lalu, mengapa kita tidak? Adakah yang salah dan kurang dari diri kita?
Setelah kita berusaha bertakwa kepada Allah, maka selanjutnya adalah bertawakal hanya kepada-Nya. Hakikat dari tawakal adalah amal dan ibadah hati, bersandarnya hati kita kepada Allah, berserah diri hanya kepada-Nya, dan rida dengan keputusan-Nya. Karena dia mengetahui bahwa Allah mencukupinya dan Allah akan memberikan yang terbaik apabila hamba menyerahkan urusannya kepada Allah. Namun hal ini juga harus disertai dengan upaya mengambil sebab yang diperintahkan dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
Masih dalam rangkaian ayat dari surah Ath-Thalaq di atas, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Kita jumpai dalam diri kita, di saat kita sedang ada masalah, pikiran kita hanya tertuju untuk meminta tolong kepada si A, si B, dan seterusnya, namun kita melupakan Allah Ta’ala. Hati kita bersandar kepada manusia, bukan bersandar kepada Allah. Bukan berarti kita tidak boleh meminta tolong kepada makhluk selama mereka mampu, namun hendaknya kita sandarkan hati kita kepada Allah Ta’ala saja. Karena Allah-lah yang akan menggerakkan hati mereka untuk menolong kita. Bukankah sering kita jumpai, bahwa mereka yang kita mintai tolong itu, ternyata mereka juga sedang ditimpa musibah dan kesulitan? Sehingga mereka sendiri lebih sibuk memikirkan urusannya sendiri, tidak akan sempat memikirkan urusan kita. Bisa jadi mereka hanya sekedar ingin tahu saja, namun tidak bisa memberi solusi. Bisa jadi justru mereka menjauhi kita, karena mereka tidak ingin tersangkut dengan dampak masalah yang kita hadapi.
Maka benarlah, pada saat di puncak kesulitan, kita lepaskan semua ketergantungan hati kita kepada makhluk, dan kita murnikan tawakal hanya kepada Allah Ta’ala. Di saat itulah, kita bisa merasakan hikmah di balik musibah dan kesulitan, yaitu kita bisa merasakan bagaimanakah praktek tawakal yang sesungguhnya. Allah ajarkan kita bagaimana tawakal yang benar pada saat di puncak kesulitan. Agar hamba tahu, dia itu hamba yang lemah, demikian juga manusia yang lain, tidak ada yang bisa menolongnya. Sedangkan Allah adalah Zat yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Sangat mudah bagi Allah untuk memberikan solusi dan jalan keluar, dan menyelesaikan semua permasalahan yang kita hadapi. Allah turunkan pertolongan pada saat kita sudah putus asa terhadap makhluk, dan hanya bersandar kepada Allah Ta’ala semata.
Oleh karena itu, tawakal bisa terwujud dengan dua hal yang harus ada di dalam hati, sehingga seorang hamba akan bertawakal kepada Allah dengan benar:
Pertama: Seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah tempat bergantung dan tidak ada tempat bergantung selain Dia. Dialah Rabb yang Maha mengatur dan yang menguasai segala urusan. Segala sesuatu yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan segala sesuatu yang tidak Dia kehendaki, pasti tidak akan terjadi.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡحَيِّ ٱلَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحۡ بِحَمۡدِهِۦۚ وَكَفَىٰ بِهِۦ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًا
“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) dan tidak mati. Dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan: 58)
Semakin kuat keimanan hamba kepada Allah dan semakin baik pengenalan kepada-Nya, maka akan semakin kuat pula tawakal dan rasa harap kepada-Nya. Dia akan menyerahkan urusan kepada-Nya, dan akan menyerahkan segala kemaslahatan dan kebutuhannya terkait urusan dunia dan akhirat hanya kepada Allah.
Kedua: Amal hati, yaitu bersandarnya hati kepada Allah, dengan meminta perlindungan kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya dengan sebenar-benarnya. Tidak ada di dalam hatinya keinginan berpaling kepada sebab dan bersandar kepada sebab tersebut. Akan tetapi, hatinya hanyalah bergantung kepada Allah dan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya untuk seluruh kebaikan dunia dan akhiratnya.
Allah Ta’ala berfirman tentang keadaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin orang yang paling bertawakal,
لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُول مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ عَزِيزٌ عَلَيۡهِ مَا عَنِتُّمۡ حَرِيصٌ عَلَيۡكُم بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ رَءُوف رَّحِيم فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُلۡ حَسۡبِيَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (QS. At-Taubah: 128-129)
Dari Umar bin Khattab, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ قَالَ إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ : بِسْمِ اللهِ ، تَوكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لا حَوْلَ ولاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، يُقَالُ لَهُ: كُفِيْتَ وَوُقِيتَ ، وتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ
“Siapa saja yang membaca saat keluar rumah, “Bismillaahi, tawakkaltu ‘alallaah, laa haula wa laa quwwata illa billaah” (Artinya: Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah), maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah dicukupi (segala kebutuhanmu), telah dijaga (dari segala bahaya), dan setan pun menjauh.” (HR. Abu Dawud no. 5095 dan Tirmidzi no. 3426, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Zikir ini disyariatkan untuk diucapkan setiap keluar dari rumah dan dalam seluruh masahat dunia dan agama. Karena sesungguhnya seorang hamba tidak akan bisa lepas dari butuh kepada Rabbnya, meskipun hanya sekejap mata. Terdapat hadis dalam Sunan An–Nasa’i dan yang lainnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada anak beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha, untuk membaca zikir di setiap pagi dan sore,
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Zat Yang Mahahidup, wahai Zat Yang Maha berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah semua keadaanku, dan janganlah Engkau serahkan diriku kepadaku meskipun hanya sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i dalam As–Sunan Al–Kubra no. 10330, dinilai hasan oleh Al–Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 1913)
Kembali ke bagian 1: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 1)
Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]
***
@Kantor Pogung, 14 Rajab 1445/ 26 Januari 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/91195-sikap-seorang-mukmin-ketika-di-puncak-kesulitan-bag-2.html